Oleh: H. Syahrir NasutionSejak dulu, universitas dipandang sebagai mercusuar moral—tempat intelektual tumbuh, ilmu pengetahuan diproduksi, dan nilai kebenaran ditegakkan. Namun, pertanyaan yang muncul kini sungguh menggelitik: masihkah masyarakat percaya kampus sebagai mercusuar moral?Sayangnya, realitas belakangan ini justru membuat kepercayaan publik semakin goyah. Banyak kampus terseret kasus yang meruntuhkan wibawa moralnya. Kita bisa menyebut skandal suap penerimaan mahasiswa baru di Universitas Lampung (Unila) yang menyeret rektor ke penjara. Ada pula dugaan plagiarisme disertasi yang melibatkan rektor di Sumatera Utara, yang membuat publik bertanya-tanya: bagaimana mungkin penjaga gawang etika akademik justru melanggarnya?
Di kampus lain, aroma jual beli jabatan, manipulasi penelitian, hingga proyek infrastruktur kampus bernuansa kolusi menjadi cerita yang berulang. Jabatan strategis kadang lebih ditentukan oleh kedekatan politik ketimbang kapasitas akademik. Mahasiswa pun mulai kehilangan ruang kritisnya. Gerakan moral yang dulu menjadi ciri khas mahasiswa kini kerap direduksi, bahkan diperalat untuk kepentingan elit tertentu.Padahal, tanpa integritas, intelektualitas hanyalah topeng. Tanpa moral, ilmu pengetahuan hanya menjadi alat justifikasi bagi kepentingan pragmatis. Kampus akan terjebak menjadi sekadar pabrik ijazah—menara gading yang tinggi tetapi kosong dari makna.Kampus hanya layak disebut mercusuar moral bila berani membersihkan dirinya dari praktik-praktik kotor: menegakkan etika akademik tanpa pandang bulu, melawan korupsi di internal, dan menghidupkan kembali tradisi intelektual yang kritis. Jika tidak, mercusuar itu akan padam, dan masyarakat akan benar-benar kehilangan arah.Pertanyaannya kini: apakah kampus kita siap menyalakan kembali cahayanya, atau justru memilih larut dalam kegelapan kepentingan sesaat?.***