Tapsel | Halomedan.com
Suara air masih menggema di lembah-lembah Tapanuli, menyisakan keheningan yang tak pernah direncanakan. Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB) mencatat sedikitnya 116 korban meninggal dalam banjir bandang dan longsor yang melanda sejak Selasa lalu. Jumlah itu diperkirakan masih bertambah mengingat puluhan warga belum ditemukan, sementara ratusan lainnya mengungsi dalam ketidakpastian.Korban Terbanyak di Tapanuli TengahTapanuli Tengah menjadi wilayah dengan korban jiwa terbanyak, yakni 47 orang. Di Tapanuli Selatan tercatat 32 orang meninggal, sedangkan Kota Sibolga kehilangan 17 warganya. Tapanuli Utara melaporkan 11 korban, disusul enam di Humbang Hasundutan, dua di Pakpak Bharat, dan satu korban di Padangsidimpuan. Wilayah yang dulu rimbun kini menyisakan luka yang terhampar luas.
Akses Terputus, Ribuan Warga TerisolasiHingga Jumat (28/11/2025), akses menuju sejumlah lokasi bencana masih terputus. Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution memastikan jalan Tarutung–Sibolga belum dapat dilalui. Longsor besar menutup badan jalan, sementara sebagian ruas lainnya amblas dan menyisakan jurang."Masih belum bisa dilalui," ujarnya. Di balik pernyataan itu, ribuan warga masih terisolasi dan menunggu bantuan yang tertahan oleh kondisi jalan.
Dinas PUPR Sumut bersama pemerintah daerah terus membersihkan material longsor. Namun pada area jalan amblas, pekerjaan jauh lebih sulit karena pergerakan tanah yang terus berlangsung. Bobby belum dapat memastikan jumlah personel yang dikerahkan karena fokus utama tetap penyelamatan korban.Posko Nasional Dibuka, Helikopter DikerahkanPemerintah pusat membentuk Posko Nasional
Bencana di Kabupaten Tapanuli Utara. Tim BNPB memperluas jangkauan evakuasi dan distribusi logistik ke desa-desa terisolasi, termasuk melalui pengiriman udara menggunakan helikopter. Tingkat kerusakan membuat penanganan bencana memerlukan upaya ekstra.
WALHI: Ada Jejak Kerusakan EkologisDalam rilis terpisah, WALHI Sumatera Utara menyebut tujuh perusahaan diduga berkontribusi terhadap kerusakan ekologis yang memperparah bencana. WALHI menilai aktivitas industri ekstraktif telah membuka tutupan hutan di Ekosistem Batang Toru secara signifikan."Ini bukan semata-mata bencana alam," tegas Direktur Eksekutif WALHI Sumut, Rianda Purba. "Ada jejak aktivitas manusia di setiap batang kayu yang hanyut."
WALHI menyoroti deforestasi di Ekosistem Harangan Tapanuli, kawasan hutan tropis yang selama ini menjadi penyangga hidrologis. Aktivitas seperti penambangan, pembangunan PLTA, geothermal, dan hutan tanaman industri disebut menekan ekosistem tersebut.Beberapa perusahaan—seperti PT Agincourt Resources dan proyek PLTA Batang Toru oleh PT NSHE—disebut WALHI telah berkontribusi terhadap hilangnya ratusan hektare tutupan hutan. Citra satelit menunjukkan titik-titik botak di punggung bukit, sementara aliran sungai membawa gelondongan kayu yang diduga berasal dari kawasan terdegradasi.WALHI juga menyoroti pembukaan lahan melalui skema PKR dan PHAT yang membuat ribuan hektare kehilangan vegetasi penting. Koridor satwa yang sebelumnya menjadi habitat orangutan Tapanuli kini berubah menjadi jalur aliran air yang tak terkendali.
"Setiap banjir membawa kayu-kayu besar. Itu bukti kerusakan," kata Rianda.Desakan Penghentian Aktivitas EkstraktifMelihat skala kerusakan, WALHI mendesak pemerintah menghentikan seluruh aktivitas industri ekstraktif di Batang Toru dan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap perizinan perusahaan-perusahaan yang disebut memberi dampak terhadap kawasan DAS.
"Kita tidak bisa lagi pura-pura buta.
Bencana ini hasil dari pembiaran yang panjang," tegas Rianda.Dukacita yang Menjadi PeringatanDi tengah duka para penyintas yang kehilangan rumah dan keluarga, WALHI mengingatkan bahwa bencana ini tidak boleh dipandang sebagai kejadian sesaat. Hilangnya tutupan hutan, menurut mereka, adalah peringatan bahwa alam akan selalu menagih konsekuensi.
"Dukacita ini harus menjadi awal dari tindakan," tutup Rianda.Sumatera Utara kini menunggu: apakah negara berani memperbaiki akar persoalan ekologisnya?Rel