JAKARTA — Keputusan Presiden memberikan rehabilitasi kepada Dirut ASDP bukan hanya langkah administratif; ia menjadi penanda bahwa
negara kini mulai membuka kembali ruang koreksi untuk kesalahan penegakan hukum. Dalam lingkaran politik nasional, keputusan itu dipandang sebagai sinyal: istana tidak lagi menutup diri terhadap upaya pemulihan keadilan.Di saat gelombang baru itu menguat, nama dr. Aris Yudhariansyah kembali mengapung—dokter yang pernah mempertaruhkan tubuhnya di garis depan pandemi, kini menunggu apakah pintu keadilan yang terbuka untuk ASDP juga akan terbuka untuk dirinya.Dan di pusaran ini, suara seorang tokoh HAM terkemuka kembali muncul—Prof. Dr. Yuspar, S.H., M.Hum, mantan Direktur HAM Kejaksaan Agung. Tidak dengan teriakan, tidak dengan ancaman, tetapi dengan argumentasi lembut yang membawa bobot kemanusiaan yang tak terbantahkan.
"Rehabilitasi ASDP adalah langkah perbaikan. Tapi perbaikan tidak boleh berhenti pada nama tertentu. Negara punya tanggung jawab moral untuk membersihkan luka yang lebih dalam—terutama ketika luka itu menyentuh mereka yang dulu melindungi rakyat dari kematian," ujar Yuspar.Para pengamat HAM menilai, jika rehabilitasi ASDP adalah sinyal perbaikan tata kelola penegakan hukum, maka amnesti dr. Aris adalah ujian lebih besar: apakah
negara hanya berani memperbaiki kesalahan administratif, atau juga berani berdiri tegak di wilayah hak asasi manusia—wilayah yang menyangkut martabat, penghargaan terhadap keberanian, dan perlindungan terhadap mereka yang membela hidup publik.Di Senayan, wacana berkembang cepat. Sejumlah anggota DPR mulai mempertanyakan ketidaktepatan antara dakwaan dan tuntutan dalam perkara dr. Aris, yang dianggap berpotensi melanggar prinsip fair trial—salah satu pilar utama HAM.
"Jika proses tidak sejalan, maka putusan menjadi rapuh. Dan HAM tidak boleh dibangun di atas fondasi yang rapuh," ujar seorang anggota yang mengikuti kajian ini.Dalam narasi politik, keputusan Presiden memberi rehabilitasi ASDP telah membentuk konteks baru:
negara sedang menata ulang moralitas hukum.
Pertanyaannya tinggal: sejauh apa keberanian itu akan dibawa?Prof. Yuspar, dengan pengalamannya sebagai penjaga HAM di masa lalu, kini menjadi figur yang menjaga agar jalur perbaikan tidak berhenti di tengah jalan.Ia melihat amnesti bukan sekadar keputusan hukum, tetapi langkah moral yang akan mencatatkan apakah
negara memilih keberanian atau kenyamanan.
"Negara yang berani memperbaiki kesalahan adalah
negara yang menghormati rakyatnya. Dan dokter yang melindungi rakyat adalah bagian dari jiwa
negara itu sendiri," ucapnya dengan suara pelan, namun meninggalkan bekas di ruang-ruang rapat pemerintahan.Kini, setelah rehabilitasi ASDP menjadi preseden baru, bayang-bayang harapan tumbuh:bahwa amnesti bagi dr. Aris bukan hanya mungkin, tetapi layak—secara hukum, politik, dan kemanusiaan.
Dan pada akhirnya,
negara akan dinilai bukan dari apa yang ia katakan, tetapi dari bagaimana ia memperlakukan mereka yang dahulu berjuang menyelamatkan nyawa rakyatnya.rel