Jakarta - Jaringan Pergerakan Masyarakat Bawah (Jaga Marwah) menyoroti kasus-kasus mandek yang ditangani Gedung Bundar, Kejaksaan Agung. Salah satu kasus tersebut terkait dugaan
korupsi penerbitan izin usaha per
tambangan (IUP) di Kabupaten
Kutai Barat, Kalimantan Timur.Soal ini, Ketua Umum Jaga Marwah Edison Tamba mengatakan, pihaknya menilai kasus-kasus yang mandek di Gedung Bundar sebaiknya dituntaskan sebagai pertanggungjawaban hukum kepada publik. Juga bagian dari keterbukaan, bahwa Kejaksaan Agung sama sekali tidak menoleransi praktik
korupsi yang menggerogoti kekayaan dan sumber daya alam negara.Khusus untuk kasus dugaan
korupsi penerbitan IUP di
Kutai Barat itu, kata Edison, telah bergulir sejak terbitnya Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Nomor: Prin-70a/F.2/Fd.2/09/2024 tanggal 20 September 2024. Bahkan, sejumlah saksi telah pula diperiksa mulai dari Ismail Thomas (Bupati
Kutai Barat periode 2006-2016), bekas kepala dinas ESDM
Kutai Barat, perusahaan swasta PT Manoor Bulatns Lestari dan lain sebagainya.
Kendati begitu, kata Edison, belum ada seorang pun ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut. "Sepengetahuan saya berdasarkan informasi yang saya peroleh, kasus ini masih bergulir. Namun, saya tidak tahu apa yang menjadi kendala penyidik dalam menetapkan tersangka kasus ini," tutur pria yang akrab disapa Edoy di Jakarta, Rabu (12/11).Oleh karena itu, kata Edison, jika kasus ini tetap mandek, maka peluang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk terlibat menuntaskannya menjadi terbuka. Apalagi KPK punya kewenangan koordinasi, supervisi dan penindakan (Korsupda). Keterlibatan KPK menuntaskan dugaan
korupsi penerbitan IUP di
Kutai Barat itu, kata Edison, publik akan mengapresiasinya sebagai bentuk kerja sama antar-lembaga penegak hukum."Untuk mewujudkan hal ini, maka saya akan segera melaporkannya ke KPK secara resmi. Hanya dengan demikian, kasus ini akan menjadi terang benderang dan demi kepastian hukum," tandas Edison.
Sebagai informasi, Sprindik kasus ini dengan Nomor: Prin-70a/F.2/Fd.2/09/2024 tanggal 20 September 2024 sudah terbit sejak setahun yang lalu. Namun demikian, meski telah naik ke tahap penyidikan, Kejagung belum menetapkan tersangka. Padahal perizinan perusahaan
tambang batu bara di Kabupaten
Kutai Barat sudah banyak yang diteken saat dipimpin Ismail Thomas.Eks Bupati
Kutai Barat 2006-2016 Ismail Thomas sendiri disebut-sebut merupakan saksi kunci dalam penyidikan perkara dugaan tindak pidana
korupsi penerbitan IUP untuk perusahaan batu bara di wilayah Kabupaten
Kutai Barat.*Jejak Perizinan IUP Era Ismail Thomas*
Negeri 1000 Jantur, julukan Kabupaten
Kutai Barat, selama ini dikenal akan keindahan alam dan kekayaan sumber daya. Namun kini menghadapi kenyataan pahit akibat laju ekspansi
tambang dan perkebunan sawit yang masif.Selama 2 periode kepemimpinan Bupati Ismail Thomas (2006–2015), wilayah seluas jutaan hektar ini menjadi ladang konsesi besar-besaran yang meninggalkan konflik sosial dan kerusakan lingkungan yang serius. Pada kepemimpinan Ismail Thomas, izin
tambang dan perkebunan sawit keluar dengan sangat deras. Tercatat 243 izin usaha per
tambangan dan tujuh PKP2B diterbitkan, meliputi sekitar 350 ribu hektar lahan
tambang.Untuk diketahui beberapa perusahaan
tambang batu bara yang beroperasi di wilayah Kabupaten
Kutai Barat yakni PT Gunung Bara Utama, PT Manoor Bulatn Lestari, PT Ricobana Abadi, PT Jetty Sendawar dan PT Mahakam Coal Mining menggarap wilayah adat serta kawasan hutan lindung dan permukiman. Di sektor perkebunan sawit juga tak kalah agresif. Tercatat lebih dari 200 ribu hektar lahan dikuasai oleh sekitar 38 perusahaan besar, termasuk PT Fangiono Agro Plantation dan PT Dharma Agro Lestari.
Masyarakat adat yang dulu bergantung pada hutan kini terdesak oleh lahan perkebunan industri. Dari total wilayah
Kutai Barat, lebih dari seperempatnya kini dikuasai konsesi
tambang dan sawit.Kawasan hutan lindung dan hutan produksi yang tersisa juga terbatas aksesnya, banyak yang sudah dialihkan menjadi
tambang atau Hutan Tanaman Industri (HTI). Akibatnya, hanya sekitar 20-25% wilayah yang dapat dikelola secara bebas oleh masyarakat lokal. Kondisi itu membuat konflik agraria masyarakat adat Dayak Benuaq dan Tunjung dengan perusahaan
tambang dan sawit terus memanas.Kerusakan lingkungan seperti banjir, degradasi tanah, dan pencemaran sungai makin memperparah krisis. Sumber penghidupan masyarakat pun hilang, menyebabkan kemiskinan dan migrasi paksa. Data Jaringan Advokasi Tambang melaporkan, izin-izin yang dikeluarkan tanpa kajian dan konsultasi publik menjadi penyebab utama krisis ini.
Boyamin Saiman dari MAKI menyoroti potensi
korupsi dalam proses perizinan, mendesak transparansi dan reformasi tata kelola. Mereka mengusulkan audit menyeluruh, pencabutan izin bermasalah, pengakuan hutan adat, moratorium izin baru, rehabilitasi ekosistem, dan proses hukum terhadap mantan Bupati Ismail Thomas dan pejabat terkait. Red