Kupang, NTT – Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) tengah gencar mengusulkan skema
dana afirmasi kepada pemerintah pusat. Usulan ini diajukan sebagai strategi krusial untuk mencapai keberimbangan fiskal, yang diyakini akan menjadi penopang utama percepatan pembangunan di wilayah kepulauan tersebut. Menanggapi hal ini, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (nBASIS), Shohibul Anshor Siregar, atau akrab disapa Siregar, memberikan pandangannya yang tajam, menekankan pentingnya pendekatan berbasis regulasi dan teori yang kuat.
Menurut Siregar, inisiatif NTT untuk mengajukan
dana afirmasi merupakan refleksi nyata dari adanya kesenjangan fiskal yang dirasakan di daerah. "Ini adalah suara otentik dari daerah yang menghadapi realitas kebutuhan pembangunan yang besar, namun terkendala kapasitas fiskal," ujar Siregar saat dihubungi. Ia menjelaskan bahwa dalam kerangka Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD), konsep
dana transfer umum (DAU dan DBH) serta
dana transfer khusus (DAK dan DID) memang dirancang untuk mengatasi disparitas antar daerah."Namun," lanjut Siregar, "seringkali formulasi standar belum sepenuhnya mampu menjangkau kekhasan dan tantangan struktural yang dihadapi daerah seperti NTT. Daerah kepulauan dengan biaya logistik tinggi, keterbatasan infrastruktur, serta kondisi geografis yang menantang, membutuhkan perlakuan yang lebih spesifik dan afirmatif."
Siregar menyoroti bahwa usulan
dana afirmasi ini sejalan dengan beberapa teori ekonomi dan fiskal. Pertama, Teori Kesenjangan Fiskal (Fiscal Gap Theory) sangat relevan di sini. "Jika kebutuhan pembiayaan daerah melebihi kapasitas fiskalnya, maka kesenjangan itu harus ditutup. Dana
afirmasi adalah salah satu cara untuk menutup kesenjangan tersebut agar pelayanan publik dan pembangunan tidak terhambat," jelasnya.Kedua, dari perspektif Teori Keadilan Antar-Daerah (Inter-regional Equity Theory), Siregar menegaskan bahwa setiap warga negara, di mana pun mereka berada, berhak mendapatkan kesempatan yang setara dalam pembangunan dan akses terhadap pelayanan publik. "Jika daerah memiliki keterbatasan geografis atau historis yang menghambat kemajuannya, maka perlakuan
afirmasi dari pemerintah pusat bukan hanya insentif, melainkan sebuah keharusan demi keadilan," tegasnya.
Ia juga menambahkan bahwa dalam konteks Teori Desentralisasi Fiskal, alokasi sumber daya yang memadai ke daerah adalah kunci keberhasilan otonomi. "Tanpa dukungan fiskal yang proporsional dan responsif terhadap kebutuhan riil, otonomi daerah hanya akan menjadi beban, bukan berkah," tandas Siregar.Dalam pandangan Siregar, pemerintah pusat memiliki pekerjaan rumah untuk meninjau usulan NTT ini secara mendalam.
"Penting untuk melihat apakah skema transfer yang ada saat ini sudah cukup fleksibel atau perlu penyesuaian, baik melalui revisi Peraturan Pemerintah turunan UU HKPD atau bahkan pembentukan skema baru yang lebih adaptif," sarannya.Namun, Siregar juga mengingatkan bahwa pemberian
dana afirmasi harus diikuti dengan kriteria yang jelas, terukur, dan akuntabel. "Agar tidak menimbulkan kecemburuan antar daerah dan memastikan
dana tersebut benar-benar efektif dan efisien dalam mencapai tujuan pembangunan di NTT, transparansi dan mekanisme pengawasan yang kuat sangat dibutuhkan," pungkasnya.
Secara keseluruhan, usulan
dana afirmasi NTT, sebagaimana dianalisis oleh Siregar, bukan sekadar permintaan
dana tambahan, melainkan sebuah seruan untuk mewujudkan keberimbangan fiskal yang lebih adil dan responsif, demi pembangunan yang inklusif di seluruh pelosok negeri.red