Oleh: H. Syahrir Nasution SE MMManaging Director: PECI – Indonesia (Political & Economic Consulting Institute of Indonesia)"
Pelacuran pendidikan tinggi menghancurkan masa depan generasi muda bangsa."
Ungkapan ini bukan sekadar kritik emosional, melainkan peringatan keras terhadap kerusakan nilai yang kini merajalela di dunia akademik Indonesia.Sesungguhnya, tidak ada urusan polisi terhadap ijazah seseorang. Ijazah adalah domain dunia kampus dan komunitas ilmuwan (scientist), bukan ranah hukum pidana. Namun anehnya, dalam beberapa tahun terakhir, di negeri ini, segala hal — bahkan urusan akademik — ditarik-tarik ke ranah hukum dan dijadikan alat politisasi kekuasaan.Fenomena ini menggambarkan betapa kekuasaan telah masuk terlalu jauh ke dalam ruang akademik. Isu ijazah dijadikan senjata politik, bukan demi kebenaran ilmiah, tetapi demi menutupi hal-hal lain yang lebih besar dan sensitif. Ketika persoalan akademik dicampuradukkan dengan kepentingan politik, maka hilanglah objektivitas dan integritas lembaga
pendidikan itu sendiri.
Yang lebih menyedihkan, kampus tidak lagi menjadi benteng moral dan komunitas intelektual. Dunia akademik yang dulu dihormati karena menjunjung etika, karakter, dan prinsip keilmuan kini justru terperangkap dalam nafsu duniawi. Banyak kampus ternama tergelincir ke dalam kubangan kepentingan material dan politik, termasuk Universitas Sumatera Utara (USU), yang kini disorot karena dinilai telah terperosok ke dalam praktik yang disebut "pelacuran
pendidikan tinggi."Istilah ini mencerminkan kondisi ketika
pendidikan tinggi kehilangan kesuciannya sebagai tempat pencarian ilmu dan kebenaran. Gelar akademik, jabatan rektor, dan status profesor sering kali menjadi alat tawar menawar kekuasaan. Akibatnya, generasi muda bangsa yang menimba ilmu justru mewarisi sistem yang cacat nilai.Fenomena ini tidak terjadi dalam semalam. Sejak dua dekade terakhir setelah berakhirnya rezim lama, muncul paradoks baru: kebebasan akademik yang seharusnya melahirkan pemikir merdeka justru melahirkan intelektual yang "mengecilkan dirinya sendiri." Banyak guru besar dan dosen bergelar
tinggi yang kini kehilangan keberanian moral. Mereka tunduk pada arus politik dan kepentingan sesaat, bukan lagi pada nurani akademik.
Bangsa ini tengah menghadapi bahaya besar — ketika kampus tidak lagi menjadi penjaga akal sehat publik. Jika dunia akademik terus dibiarkan dalam arus politisasi dan komersialisasi, maka masa depan bangsa akan rapuh.Karena itu, sudah saatnya kampus-kampus di Indonesia melakukan introspeksi. Pendidikan
tinggi harus kembali ke jalannya yang sejati: menjaga moral, menegakkan integritas, dan melahirkan generasi berkarakter.Jangan biarkan universitas menjadi tempat "melacurkan" kehormatan intelektual demi kepentingan kekuasaan. Sebab, ketika
pendidikan tinggi kehilangan nilai, maka bangsa kehilangan masa depannya.