Oleh: H Syahrir Nasution SE MMSeorang
pendidik sejatinya adalah
pemimpin. Sebaliknya, seorang
pemimpin yang sejati tidak bisa lepas dari perannya sebagai
pendidik. Relasi ini mengikat, sebab ke
pemimpinan tanpa
pendidikan akan kehilangan ruh, sementara
pendidikan tanpa ke
pemimpinan akan kehilangan arah.
Rektor, misalnya, adalah figur yang secara struktural menjadi
pemimpin pendidikan tinggi. Ia bukan sekadar administrator, melainkan sosok panutan yang tindak-tanduknya diteladani. Namun, bagaimana jika seorang rektor tidak memperlihatkan perilaku seorang
pendidik? Bagaimana bila jabatan yang mestinya menjadi simbol keilmuan dan keteladanan justru tercoreng oleh tindakan yang melanggar norma, kaidah, dan etika seorang
pendidik?Seorang
pendidik adalah panutan. Keteladanannya harus tercermin dari sikap, perkataan, dan perbuatannya. Lebih-lebih bila ia menyandang gelar Profesor—atau dalam tradisi Mandailing disebut Guru Godang—yang dihormati masyarakat luas. Dalam perspektif Islam, kedudukan
itu serupa dengan imam, yang d
ituntut menjadi teladan bagi para makmumnya.Maka, wajar bila masyarakat mempertanyakan ke
pemimpinan seorang rektor yang tidak menampilkan kepribadian
pendidik. Apalagi jika karakternya justru menunjukkan kebohongan, manipulasi, atau perilaku yang jauh dari teladan. Seorang
pemimpin pendidikan tidak pantas mengabaikan nilai kejujuran, karena ke
pemimpinan sejati hanya lahir dari kepercayaan yang tulus, bukan hubungan transaksional.
Pemimpin yang sejati adalah mereka yang diikuti secara sukarela karena memberikan contoh positif. Seorang rektor, seorang guru besar, seorang
pendidik—semuanya d
ituntut untuk menjadi teladan moral, bukan sekadar pemegang jabatan. Tanpa
itu, ke
pemimpinan di bidang
pendidikan akan kehilangan legitimasi dan kepercayaan publik.***